Pendapat mengenai Perdagangan Bebas antara Indonesia-China
Perdagangan bebas antara Indonesia dengan China atau yang dikenal bernama ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) telah berlangsung sejak tanggal 1 Januari 2010 berpotensi mengancam kelangsungan hidup perekonomian Negara kita Indonesia, sehingga hal ini harus disikapi baik oleh pemerintah maupun kita sebagai warga Negara yang harusnya bisa mengangkat perekonomian di Indonesia.
Perdagangan bebas ini justru mengakibatkan pemutusan
hubungan kerja (PHK) karena banyaknya industri kecil yang gulung tikar akibat
kalah bersaing di pasar lokal dengan industri asing sehingga mempersempit
lapangan kerja yang ada. Akibatnya pengangguran di Indonesia semakin meningkat
jumlahnya
Membanjirnya produk luar negeri di pasar domestik, seperti
barang murah dari China secara tidak langsung akan menghancurkan produk dalam
negeri. Kehancuran industri lokal tersebut disebabkan oleh pemerintah menerima
secara mentah-mentah ACFTA meski industri manufaktur masih lemah. Sedangkan
China baru membuka pasarnya ketika industri manufaktur sudah kuat dan juga
melakukan law policy yaitu memproteksi produk dalam negeri selama beberapa
dekade.
Menurut Doktor termuda bidang hukum perdangan Internasional dari fakultas Hukum UI dalam Koran Jakarta, mengungkapkan bahwa di era globalisasi dan dunia tanpa batas atau borderless dewasa ini, Indonesia tidak bisa menghindari perjanjian perdagangan bebas, baik bilateral, regional, maupun multilateral. Sayangnya, Indonesia belum mendapat benefit dari perjanjian tersebut, khususnya dalam lingkup ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) yang berlangsung sejak 1 Januari 2010. “Awalnya perjanjian perdagangan bebas diharapkan mampu menyejahterakan rakyat, Namun, yang terjadi malah sebaliknya merugikan Indonesia.” Papar Ariawan setelah pengukuhannya sebagai doctor pada usia 27 tahun di Jakarta, Sabtu (6/10). Ariawan Gunadi yang menyelesaikan desertasi doctor di UI berjudul “Perjanjian Perdagangan Bebas dalam Era Liberalisasi Perdagangan: Studi Mengenai ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) yang diikuti oleh Indonesia” itu menyatakan agar tidak tergilas China, Indonesia harus mampu meningkatkan daya saing. Dalam mendukung industri dalam negeri, pemerintah harus memperbaiki infrastruktur dan membuat kebijakan yang melindungi produk dalam negeri. Pola seperti itu, ungkap dia, dilakukan Malaysia. Negeri jiran itu menyadari kehadiran barang China akan mengancam kelangsungan industri lokal.Upaya lain, imbuh Ariawan, melakukan perjanjian ulang dengan China, meminta Negara itu secara sukarela membatasi ekspor ke Indonesia. Pola seperti itu pernah dilakukan AS terhadap China, dan berhasil. Dengan cara itu diharapkan terjadi keseimbangan perdagangan antara Indonesia dan China.
Dalam hal ini kita sebaiknya dapat mengendalikan pasar lokal dengan menstabilkan industri lokal dan memperbaiki harga produk domestik sehingga dapat dijangkau oleh masyarakat Indonesia. Dan kita sebagai warga negara harusnya lebih mencintai produk domestik demi mensejahterakan industri kecil.
Menurut Doktor termuda bidang hukum perdangan Internasional dari fakultas Hukum UI dalam Koran Jakarta, mengungkapkan bahwa di era globalisasi dan dunia tanpa batas atau borderless dewasa ini, Indonesia tidak bisa menghindari perjanjian perdagangan bebas, baik bilateral, regional, maupun multilateral. Sayangnya, Indonesia belum mendapat benefit dari perjanjian tersebut, khususnya dalam lingkup ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) yang berlangsung sejak 1 Januari 2010. “Awalnya perjanjian perdagangan bebas diharapkan mampu menyejahterakan rakyat, Namun, yang terjadi malah sebaliknya merugikan Indonesia.” Papar Ariawan setelah pengukuhannya sebagai doctor pada usia 27 tahun di Jakarta, Sabtu (6/10). Ariawan Gunadi yang menyelesaikan desertasi doctor di UI berjudul “Perjanjian Perdagangan Bebas dalam Era Liberalisasi Perdagangan: Studi Mengenai ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) yang diikuti oleh Indonesia” itu menyatakan agar tidak tergilas China, Indonesia harus mampu meningkatkan daya saing. Dalam mendukung industri dalam negeri, pemerintah harus memperbaiki infrastruktur dan membuat kebijakan yang melindungi produk dalam negeri. Pola seperti itu, ungkap dia, dilakukan Malaysia. Negeri jiran itu menyadari kehadiran barang China akan mengancam kelangsungan industri lokal.Upaya lain, imbuh Ariawan, melakukan perjanjian ulang dengan China, meminta Negara itu secara sukarela membatasi ekspor ke Indonesia. Pola seperti itu pernah dilakukan AS terhadap China, dan berhasil. Dengan cara itu diharapkan terjadi keseimbangan perdagangan antara Indonesia dan China.
Dalam hal ini kita sebaiknya dapat mengendalikan pasar lokal dengan menstabilkan industri lokal dan memperbaiki harga produk domestik sehingga dapat dijangkau oleh masyarakat Indonesia. Dan kita sebagai warga negara harusnya lebih mencintai produk domestik demi mensejahterakan industri kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar