Jumat, 07 Juni 2013

Pelepasan Daerah Di Bagian Timur Indonesia


Timor Timur Dalam Integrasi 1976 Sampai 1999
A.       
     Masalah Pembangunan Daerah
Sesuai dengan UU No. 7 tahun 1976, Timtim pun kemudian ditetapkan statusnya sebgai Propinsi Daerah Tingkat I, yang dipimpin oleh seorang gubernur kepala daerah. Adapun sebagai pelaksanaan UU tersebut telah dikeluarkan PP No. 19 tahun 1976 yang antara lain mengatur secara rinci tentang kedudukan dan susunan Pemerintah Daerah Tingkat I TIMtim. Propinsi muda ini terdiri dari 13 kabupaten Daerah Timgkat II, dan 16 wilayah kecamatan .
Kebijakan awal dari proses pembangunan Timtim dilakukan secara bertahap.
Tahap pertama yaitu tahap rehabilitas (1976-19770, dengan sasaran utama merehabilitasi seluruh prasaraan dan sarana umum, mulai dari rumah sakit, balai pengobatan, sekolah, samapi berbagai sarana telekomunikasi serta perhubungan. Di samping itu diadakan pula program peningkatan ketermapilan bagai para pegawai, agara mereka dapat memahami system pemerintahan administrasi pemerintahan yang berlaku. Kemudian tahap kedua adalah tahap Konsolidasi (1977-1978) tahap ini ditujukan untuk melanjutkan serta meningkatkan langkah-langkah pembangunan sebelumnya, sehingga menjangkau peningkatan program-program pembangunan ekonomi rakyat, peningkatan prasarana serta sarana pendidikan, dan sebagainya. Kemudia pada tahap ketiga yaitu tahap Stabilisasi (1978-1982) dengan sasaran utama pada pemantapan serta peningkatan kemampuan dan keterampilan aparat pemerintah daerah secara menyeluruh dan terpadu. Dengan usaha-usaha tersebut diharapkan bahwa Pemda Titim siap menyongsong pembangunan pada masa itu dengan Repelita IV. 
Semakin lama masalah yang dirasakan oleh masyarakat Timtim bukanlah kelompok yang anti Integrasi, tapi cenderung pada perlakuan pemerintah selam integrasi. Antara presepsi masyarakat dan pendekatan yang dilakukan pemerintah masih belum sepenuhnya sesuai. Pelaksanaan pembangunan di Timtim waktu itu memang belum tepat, dan terkesan bahwa pembangunan fisik memang maju, sementara pembangunan manusianya tertinggal.
B.       
     Masalah Pembangunan Politik
Berdasarkan Deklarasi Rakyat Timtim yang diwakili empat partai (Apodeti, UDT, Kota dan Trabalhsita). Dibidang politik, disebutkan bahwa semua kegiatan rakyat dalam ideology, ekonomi, social, budaya dan diarahkan guna meletakan dasar-dasar sinkronisasi masyarakat demi mempercepat tercapainya integrasi rakyat Timtim ke dalam negeri RI. Timtim harus bekerja keras untuk mengejar ketinggalannya dari daerah-daerah yang lain. Untuk itu, berbagai fasilitas kesejahteraan social masyarakat harus ditingkatkan. Demikian pula harus diusahakan berbagai langkah guna menyiapkan Timitm, salah satunya bidang pertanian agar membantu perekonomian mak fasilitas pertanian ditingkatkan.untuk mempercepat proses pembangunan di timtim, maka pendidikan, kesehatan, penerangan dan aneka fasilitas social lainnya perlu mendapatkan prioritas, terutama pada Repelita IV.
Rakyat timtim memiliki karakteristik yang berbeda dengan rakyat Indonesia pada umumnya. Secara fisik mereka tidak pernah ikut melakukan perlawanan terhadap Belanda. Kemudian pada waktu kemerdekaan RI tidak mengantakan bahwa Timtim bukan bagian wilayahnya karena dibawah kekuasaan Portugis.
Permasalahan Timtim sebenarnya tidak ubahnya seperti permasalahan yang dimasa lalu juga pernah dialami oleh provinsi di Indonesia yang lain. Dalam proses integrasi, muncul aneka permasalahan yaitu salahsatunya bersumber dari factor perbedaaan sejarah dan proses integrasi yang penuh dengan kekerasan (pada masa penjajahan yang disebut Indonesia adalah wilayah yang dulunya adalah kekuasaan Hindia-Belanda, sedangkan Timor diduduki oleh Portugis). Kemudian terjadinya “peristiwa Dili” pada 12 November 1991, yang diawali oleh bentrokan antara pemuda yang pro dan kontra terhadap integrasi. Kejadian ini juga yang menjadikan hubungan Indonesia dan Timtim renggang. Dan peristiwa ini menjadi sorotan berita dalam dan luar negeri dan dengan dicampuri oleh Australia maka kejadian ini pun semakin menjadikan keadaan tidak kondusif.
C.       
            Masalah Indonesia dengan Timor Leste 
Menteri Luar Negeri Timor Leste Jose Ramos Horta menegaskan, dengan dibebaskannya seluruh perwira militer Indonesia yang dianggap bertanggung jawab dalam kerusuhan pasca jajak pendapat di Timor Timur, 1999 silam, itu akan menurunkan kredibilitas Indonesia di mata masyarakat internasional. “Ini akan menciptakan kesulitan bagi Indonesia,” tegas Horta saat dihubungi Tempo News Room melalui telepon genggamnya, Sabtu (7/8). Dia sendiri merasa terkejut dengan dibebaskannya mantan Panglima Komando Daerah Militer XI Udayana Mayor Jenderal Adam Damiri dari hukuman. 
Damiri sebelumnya divonis tiga tahun penjara oleh Pengadilan Tingkat Pertama HAM ad hoc. Tiga perwira militer lainnya juga telah dibebaskan dari hukuman, yaitu mantan Komandan Resor Militer 154 Wiradharma Letnan Kolonel M. Noer Muis (divonis lima tahun), mantan Kepala Kepolisian Resor Dili Komisaris Besar Hulman Goeltom (tiga tahun), dan mantan Komandan Distrik Militer 1627 Dili Letnan Kolonel Sujarwo (lima tahun). Horta juga menyesalkan proses pengadilan HAM yang hanya menghukum dua warga sipil Timor-Timur, yaitu mantan Gubernur Timor-Timur Jose Abilio Soares dan mantan Panglima Milisi Aitarak Eurico Guterres. “Kami sangat terkejut bahwa hanya dua warga sipil Timor Timur yang dihukum,” kata dia.
Namun demikian, lanjut dia, Pemerintah Timor Leste tidak menyetujui adanya desakan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk membentuk suatu pengadilan internasional guna menghukum sejumlah pejabat militer Indonesia. “Itu akan menimbulkan kesulitan dalam hubungan bilateral Indonesia dan Timor Leste,” tegas Horta. 
Dia merasa khawatir pembentukan pengadilan internasional nantinya akan digunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk merusak hubungan bilateral kedua negara. Dia menegaskan, pemerintahnya masih berharap Indonesia dapat memberikan keadilan dalam kasus pelanggaran HAM tersebut.
Rencana pembentukan pengadilan internasional untuk kasus pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur, dinilai dapat mengganggu hubungan bilateral antara Indonesia dan Timor Leste. “Tidak ada dampak positif terhadap hubungan Indonesia dan Timor Leste,” tegas juru bicara Departemen Luar Negeri Marty Natalegawa dalam acara jumpa pers di kantornya, Jumat (13/8). Dia menambahkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM Timor Timur harus berdasarkan posisi kedua negara dan bukan berdasarkan pendapat masyarakat internasional. Desakan untuk membentuk pengadilan internasional muncul setelah pengadilan HAM ad hoc di Indonesia membebaskan seluruh perwira militer dan kepolisian. Pengadilan hanya menghukum dua warga sipil Timor Timur, yakni mantan Gubernur Jose Abilio Osorio Soares dan mantan Wakil Panglima Milisi Aitarak Eurico Guterres. Sejumlah protes terhadap keputusan pengadilan ini, antara lain datang dari Pemerintah Amerika Serikat dan Selandia Baru. 
Lebih lanjut Natalegawa mengungkapkan, gagasan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Kofi Annan tersebut akan menimbulkan kesan buruk. Dia mempertanyakan apakah lazim Sekretaris PBB memiliki wewenang untuk menilai proses hukum di suatu negara berdaulat. Dia juga mempertanyakan apakah Annan juga akan melakukan hal yang sama terhadap negara lain. “Ada potensi diskriminatif dan sangat mengganggu kemandirian proses hukum,” tegas dia. Dia menegaskan, selama ini pemerintah telah melakukan lobi terhadap negara-negara anggota Dewan Keamanan agar gagasan pembentukan pengadilan internasional itu tidak diterima. Dia merasa yakin pengadilan internasional tersebut tidak akan terbentuk karena hal itu memerlukan persyaratan yang ketat. Meski demikian, lanjut Natalegawa, pemerintah akan berusaha keras untuk meyakinkan negara-negara sahabat agar hal itu tidak terwujud. “Untuk bisa meyakinkan masyarakat internasional dan masyarakat kita sendiri bahwa rasa keadilan itu sudah terpenuhi,” lanjut dia.
Menteri Luar Negeri Jose Ramos Horta juga memiliki pandangan yang sama mengenai hal ini. “Itu akan menimbulkan kesulitan dalam hubungan bilateral Indonesia dan Timor Leste,” tegas dia.
Saat semua biaya yang dikucurkan untuk Timtim oleh Indonesia untuk pembangunan, tidak sedikit pengorbanan yang diberikan demi tidak terlepasnya Timor Lorosae. Namun pandangan dunia Internasional kepada Indonesia tentang pergolakan yang terjadi dan ditambah campur tangan Australia, hingga ahkirnya Timtim sudah terlepas kini. Semoga kejadian terlepasnya Timtim tidak akan terulang, walau kini di beberapa wilayah sudah banyak gerakan yang menginginkan lepas dari Indonesia seperti misalnya Aceh dengan GAM-nya dan Papua dengan OPM-nya, bahkan sekarang Maluku pun ikut-ikutan ingin merdeka dengan gerakan RMS-nya. Sekiranya pemerintah mampu dan kita semua juga harus sadar akan pentingnya bersatu dan persatuan, dalam perbedaaan dan jadikan itu adalah kebanggaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar