Investasi merupakan salah satu
komponen pembentuk pertumbuhan ekonomi. Secara sederhana, investasi diartikan
sebagai pengeluaran barang modal yang diarahkan untuk menunjang kegiatan
produksi atau perluasan produksi (Samuelson dan Nordaus). Ini
menjadikan investasi mempunyai multiplier effect yang luas karena tidak
hanya mendorong sisi produksi, namun juga menstimulasi sisi konsumsi.
Investasi dalam bentuk penciptaan
nilai tambah ekonomi, akan mendorong pembukaan dan perluasan lapangan
pekerjaan, peningkatan pendapatan masyarakat, dan kemudian pada gilirannya akan
menstimulasi konsumsi masyarakat dan kemudian memperdalam pasar domestik.
Karena itulah komponen investasi seringkali dijadikan patokan dalam menilai
kualitas pertumbuhan ekonomi.
Dalam kerangka MP3EI, komponen
investasi memainkan peran yang sangat strategis karena menjadi kunci utama
dalam mendorong pembangunan bidang infrastruktur konektivitas dan kegiatan
ekonomi di pusat-pusat pertumbuhan. Pemerintah mendorong investor untuk
melakukan penanaman modal pada koridor-kodidor ekonomi dalam MP3EI melalui
berbagai kebijakan pro investasi berupa insentif fiskal, perbaikan layanan
perijinan investasi, stabilitas makro ekonomi, dan kepastian serta perlindungan
hukum.
Kinerja investasi saat ini
menunjukan trend positif yang cukup solid, bahkan di saat perekonomian global
mengalami perlambatan, investasi menjelma menjadi salah satu komponen utama
penopang pertumbuhan ekonomi menggantikan kinerja ekspor yang cenderung
melambat. Data pertumbuhan ekonomi terbaru keluaran Badan Pusat Statistik (BPS)
mencatat komponen investasi triwulan III 2012 tumbuh 10,02 % dibanding triwulan
yang sama tahun 2011 (year on year/yoy). Bersama dengan komponen
konsumsi rumah tangga, keduanya menopang pertumbuhan ekonomi berada pada
kisaran 6,17 persen.
Indikator positif kinerja investasi
lainnya tercermin pada angka realisasi penanaman modal periode
Januari–September 2012 yang telah mencapai Rp 229,9 triliun, meningkat 27,0
persen (y.o.y) dari Januari – September 2011 sebesar Rp. 181,0 triliun.
Realiasi ini terdiri dari Rp 65,7 triliun PMDN dan Rp 164,2 triliun PMA, dimana
masing-masing tumbuh 26,3 persen (y.o.y) dan 27,3 persen (y.o.y).
Jika dibandingkan dengan target 2012 sebesar Rp 283,5 triliun, realisasi
investasi sampai dengan September telah mencapai 81,1 persen. Sebuah capaian
yang layak untuk diapresiasi.
Berbagai perkembangan positif
tersebut tentunya tidak terjadi dengan sendirinya. Berbagai faktor saling
berinteraksi mendorong tumbuhnya aliran investasi langsung. Terdapat beberapa
faktor yang ditengarai mempengaruhi pertumbuhan investasi. Untuk kasus
Indonesia, paling tidak terdapat 5 (lima) faktor yang berpengaruh positif
terhadap capaian investasi sepanjang 2012.
Pertama, faktor suku bunga pinjaman. Tingkat suku bunga pinjaman yang rendah, kompetitif dan
stabil akan menarik minat investor untuk melakukan eskpansi atau pembukaan
usaha baru karena terjadi pengurangan beban bunga. Dalam hal ini, BI rate dijadikan
sebagai suku bunga acuan bagi penetapan suku bunga simpanan dan pinjaman.
Tingkat BI rate yang rendah akan berimbas pada rendahnya suku bunga
kredit karena suku bunga simpanan sebagai basis sumber dana perbankan juga akan
berada pada posisi yang lebih rendah. Sepanjang tahun 2012, BI rate
stabil pada posisi 5,75 bps, nilai ini bertahan sejak Februari - November 2012,
dimana sebelumnya berada pada posisi 6 bps (Januari 2012). Terjaganya BI rate
memberikan pengaruh pada trend penurunan suku bunga kredit investasi,
meskipun selisih antara BI rate dan suku bunga pinjaman (spread) masih
cukup lebar. Data Bank Indonesia menunjukkan posisi suku bunga kredit pada
September 2012 sebesar 11,35 persen, turun 3,2 persen dari Januari 2012 sebesar
11,73 persen.
Kedua, faktor tingkat pendapatan. Tingginya tingkat pendapatan per kapita mencerminkan
tingginya kemampuan atau daya beli masyarakat. World Bank mencatat Gross
National Income (GNI) per kapita Indonesia tahun 2011 sebesar 2.940 USD,
meningkat 17,6 persen dibanding 2010, dan bahkan selama periode 2007-2011
meningkat sebesar 83,75 persen. Pertumbuhan pendapatan masyarakat memberikan
daya tarik yang cukup besar bagi para investor karena menunjukkan tingginya
daya beli masyarakat.
Ketiga, pertumbuhan dan ukuran kelas
menengah. Salah satu faktor penting yang
berpengaruh terhadap keputusan investasi adalah ukuran pasar domestik
direpresentasikan oleh jumlah kelompok kelas menengah. Hasil perhitungan ADB
dengan menggunakan data SUSENAS BPS, proporsi kelas menengah Indonesia
dibanding total populasi meningkat dari 25% pada 1999 menjadi 43% pada 2009.
Secara absolut, jumlah kelas menengah meningkat dua kali lipat dalam kurun
waktu 10 tahun, dari sekitar 45 juta pada 1999 menjadi 93 juta pada 2009 (ADB,
2010). Survey terbaru Bank Indonesia pada 2011 menunjukkan angka peningkatan
yang cukup signifikan. Kelompok kelas menengah Indonesia pada tahun 2011
sebesar 60,9 persen dari total populasi, sedangkan kelompok berpendapatan
rendah mencapai 22,1 persen, dan sisanya sekitar 17 persen tergolong kelompok
berpendapatan tinggi. Kelompok kelas menengah yang terus tumbuh menjanjikan
pasar yang cukup besar sehingga menarik minat para investor untuk melakukan
ekspansi atau membuka usaha baru.
Keempat, faktor tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Inflasi yang tinggi dan
fluktuatif mengambarkan ketidakstabilan dan kegagalan pengendalian kebijakan
makro ekonomi. Tingkat inflasi yang tinggi dan fluktuatif membuat investor
dihadapkan pada situasi ketidakpastian usaha yang memicu peningkatan resiko
proyek dalam investasi. Sampai dengan September 2012, inflasi Indonesia sebesar
3,66 persen (y.o.y), nilai ini jauh di bawah asumsi makro APBN 2012
sebesar 6,8 persen. Keberhasilan pemerintah dalam mengendalikan tingkat inflasi
meningkatkan minat investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia sepanjang
tahun 2012.
Kelima, faktor regulasi pemerintah. Iklim investasi
yang kondusif memerlukan peran serta pemerintah, tidak hanya melalui
pengendalian indikator ekonomi makro namun juga melalui peraturan perundangan
berupa insentif fiscal dan non fiskal. Salah satu peraturan yang diterbitkan
oleh pemerintah untuk menarik investasi adalah PP 52 Tahun 2011 tentang
Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal Bidang Usaha Tertentu
Dan/Atau Daerah Tertentu. Melalui peraturan ini, Pemerintah memberikan insentif
fiskal berupa fasilitas pajak penghasilan badan yang meliputi: (1) Tambahan
pengurangan penghasilan neto sebesar 30% dari jumlah Penanaman Modal; (2)
penyusutan dan amortisasi yang dipercepat; (3) Pengurangan tarif Pajak
Penghasilan atas penghasilan dividen yang dibayarkan kepada subjek pajak luar
negeri; (4) Perpanjangan masa kompensasi kerugian.
Selain itu, Pemerintah juga
memberikan insentif berupa tax holiday bagi industri pionir untuk
mendorong aliran investasi pada sektor-sektor prioritas. Insentif ini diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK-130/PMK.011/2011. Penerbitan
peraturan ini tidak hanya bertujuan meningkatkan kuantitas investasi, namun
juga kualitas investasi dalam bentuk mengarahkan investasi pada sektor-sektor
prioritas yang dipandang strategis bagi penguatan struktur industry nasional.
Insentif non fiscal dilakukan dalam
bentuk pemberian kemudahan pelayanan investasi, khususnya dalam hal
penyederhanaan birokrasi layanan perijinan, pengurangan waktu yang dibutuhkan
untuk menyelesaikan perijinan investasi, serta informasi peluang usaha.
Pembentukan one stop services pelayanan investasi hingga ke tingkat
daerah dimaksudkan dapat membantu investor dalam memotong biaya dan waktu yang
dibutuhkan dalam melakukan investasi.
Kinerja investasi sepanjang 2012 ini
sudah selayaknya diapresiasi dan terus ditingkatkan. Permasalahan dan tantangan
ke depan masih menghadang diantaranya dalam hal perijinan investasi dan
infrastruktur pendukung. Peringkat Indonesia untuk kedua kriteria tersebut
dalam survey Doing Business 2012 belum begitu menggembirakan karena
masih di bawah negara-negara pesaing. Berdasarkan laporan WEF dalam Doing
Busines Economic Rangkings, peringkat daya saing global (Global
Competitiveness Index/GCI) Indonesia untuk periode 2012-2013 berada pada
posisi 50 dengan skor 4,4 dari 144 negara. Namun permasalahan dan tantangan
tersebut harus disikapi secara positif, dalam artian masih terbuka ruang dan
potensi yang cukup lebar untuk menggenjot pertumbuhan investasi dan pertumbuhan
ekonomi Indonesia. Upaya-upaya perbaikan seperti layanan one stop service,
kerjasama pemerintah swasta, sinergi BUMN, perbaikan iklim ketenagakerjaan,
harus tetap dilanjutkan dan ditingkatkan intensitas dan cakupannya, untuk
mendukung peningkatan aliran dan kualitas investasi.
(TJI dan DDW - Asdep Bidang Ekonomi
Makro, Keuangan dan Ketahanan Pangan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar