Selasa, 30 September 2014

Faktor Kunci Meningkatnya Investasi di Indonesia



Investasi merupakan salah satu komponen pembentuk pertumbuhan ekonomi. Secara sederhana, investasi diartikan sebagai pengeluaran barang modal yang diarahkan untuk menunjang kegiatan produksi atau perluasan produksi (Samuelson dan Nordaus). Ini menjadikan investasi mempunyai multiplier effect yang luas karena tidak hanya mendorong sisi produksi, namun juga menstimulasi sisi konsumsi.
Investasi dalam bentuk penciptaan nilai tambah ekonomi, akan mendorong pembukaan dan perluasan lapangan pekerjaan, peningkatan pendapatan masyarakat, dan kemudian pada gilirannya akan menstimulasi konsumsi masyarakat dan kemudian memperdalam pasar domestik. Karena itulah komponen investasi seringkali dijadikan patokan dalam menilai kualitas pertumbuhan ekonomi.
Dalam kerangka MP3EI, komponen investasi memainkan peran yang sangat strategis karena menjadi kunci utama dalam mendorong pembangunan bidang infrastruktur konektivitas dan kegiatan ekonomi di pusat-pusat pertumbuhan. Pemerintah mendorong investor untuk melakukan penanaman modal pada koridor-kodidor ekonomi dalam MP3EI melalui berbagai kebijakan pro investasi berupa insentif fiskal, perbaikan layanan perijinan investasi, stabilitas makro ekonomi, dan kepastian serta perlindungan hukum.
Kinerja investasi saat ini menunjukan trend positif yang cukup solid, bahkan di saat perekonomian global mengalami perlambatan, investasi menjelma menjadi salah satu komponen utama penopang pertumbuhan ekonomi menggantikan kinerja ekspor yang cenderung melambat. Data pertumbuhan ekonomi terbaru keluaran Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat komponen investasi triwulan III 2012 tumbuh 10,02 % dibanding triwulan yang sama tahun 2011 (year on year/yoy). Bersama dengan komponen konsumsi rumah tangga, keduanya menopang pertumbuhan ekonomi berada pada kisaran 6,17 persen.
Indikator positif kinerja investasi lainnya tercermin pada angka realisasi penanaman modal periode Januari–September 2012 yang telah mencapai Rp 229,9 triliun, meningkat 27,0 persen (y.o.y) dari Januari – September 2011 sebesar Rp. 181,0 triliun. Realiasi ini terdiri dari Rp 65,7 triliun PMDN dan Rp 164,2 triliun PMA, dimana masing-masing tumbuh 26,3 persen (y.o.y) dan 27,3 persen (y.o.y). Jika dibandingkan dengan target 2012 sebesar Rp 283,5 triliun, realisasi investasi sampai dengan September telah mencapai 81,1 persen. Sebuah capaian yang layak untuk diapresiasi.
Berbagai perkembangan positif tersebut tentunya tidak terjadi dengan sendirinya. Berbagai faktor saling berinteraksi mendorong tumbuhnya aliran investasi langsung. Terdapat beberapa faktor yang ditengarai mempengaruhi pertumbuhan investasi. Untuk kasus Indonesia, paling tidak terdapat 5 (lima) faktor yang berpengaruh positif terhadap capaian investasi sepanjang 2012.
Pertama, faktor suku bunga pinjaman. Tingkat suku bunga pinjaman yang rendah, kompetitif dan stabil akan menarik minat investor untuk melakukan eskpansi atau pembukaan usaha baru karena terjadi pengurangan beban bunga. Dalam hal ini, BI rate dijadikan sebagai suku bunga acuan bagi penetapan suku bunga simpanan dan pinjaman. Tingkat BI rate yang rendah akan berimbas pada rendahnya suku bunga kredit karena suku bunga simpanan sebagai basis sumber dana perbankan juga akan berada pada posisi yang lebih rendah. Sepanjang tahun 2012, BI rate stabil pada posisi 5,75 bps, nilai ini bertahan sejak Februari - November 2012, dimana sebelumnya berada pada posisi 6 bps (Januari 2012). Terjaganya BI rate memberikan pengaruh pada trend penurunan suku bunga kredit investasi, meskipun selisih antara BI rate dan suku bunga pinjaman (spread) masih cukup lebar. Data Bank Indonesia menunjukkan posisi suku bunga kredit pada September 2012 sebesar 11,35 persen, turun 3,2 persen dari Januari 2012 sebesar 11,73 persen.
Kedua, faktor tingkat pendapatan. Tingginya tingkat pendapatan per kapita mencerminkan tingginya kemampuan atau daya beli masyarakat. World Bank mencatat Gross National Income (GNI) per kapita Indonesia tahun 2011 sebesar 2.940 USD, meningkat 17,6 persen dibanding 2010, dan bahkan selama periode 2007-2011 meningkat sebesar 83,75 persen. Pertumbuhan pendapatan masyarakat memberikan daya tarik yang cukup besar bagi para investor karena menunjukkan tingginya daya beli masyarakat.
Ketiga, pertumbuhan dan ukuran kelas menengah. Salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap keputusan investasi adalah ukuran pasar domestik direpresentasikan oleh jumlah kelompok kelas menengah. Hasil perhitungan ADB dengan menggunakan data SUSENAS BPS, proporsi kelas menengah Indonesia dibanding total populasi meningkat dari 25% pada 1999 menjadi 43% pada 2009. Secara absolut, jumlah kelas menengah meningkat dua kali lipat dalam kurun waktu 10 tahun, dari sekitar 45 juta pada 1999 menjadi 93 juta pada 2009 (ADB, 2010). Survey terbaru Bank Indonesia pada 2011 menunjukkan angka peningkatan yang cukup signifikan. Kelompok kelas menengah Indonesia pada tahun 2011 sebesar 60,9 persen dari total populasi, sedangkan kelompok berpendapatan rendah mencapai 22,1 persen, dan sisanya sekitar 17 persen tergolong kelompok berpendapatan tinggi. Kelompok kelas menengah yang terus tumbuh menjanjikan pasar yang cukup besar sehingga menarik minat para investor untuk melakukan ekspansi atau membuka usaha baru.
Keempat, faktor tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Inflasi yang tinggi dan fluktuatif mengambarkan ketidakstabilan dan kegagalan pengendalian kebijakan makro ekonomi. Tingkat inflasi yang tinggi dan fluktuatif membuat investor dihadapkan pada situasi ketidakpastian usaha yang memicu peningkatan resiko proyek dalam investasi. Sampai dengan September 2012, inflasi Indonesia sebesar 3,66 persen (y.o.y), nilai ini jauh di bawah asumsi makro APBN 2012 sebesar 6,8 persen. Keberhasilan pemerintah dalam mengendalikan tingkat inflasi meningkatkan minat investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia sepanjang tahun 2012.
Kelima, faktor regulasi pemerintah. Iklim investasi yang kondusif memerlukan peran serta pemerintah, tidak hanya melalui pengendalian indikator ekonomi makro namun juga melalui peraturan perundangan berupa insentif fiscal dan non fiskal. Salah satu peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah untuk menarik investasi adalah PP 52 Tahun 2011 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal Bidang Usaha Tertentu Dan/Atau Daerah Tertentu. Melalui peraturan ini, Pemerintah memberikan insentif fiskal berupa fasilitas pajak penghasilan badan yang meliputi: (1) Tambahan pengurangan penghasilan neto sebesar 30% dari jumlah Penanaman Modal; (2) penyusutan dan amortisasi yang dipercepat; (3) Pengurangan tarif Pajak Penghasilan atas penghasilan dividen yang dibayarkan kepada subjek pajak luar negeri; (4) Perpanjangan masa kompensasi kerugian.
Selain itu, Pemerintah juga memberikan insentif berupa tax holiday bagi industri pionir untuk mendorong aliran investasi pada sektor-sektor prioritas. Insentif ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK-130/PMK.011/2011.  Penerbitan peraturan ini tidak hanya bertujuan meningkatkan kuantitas investasi, namun juga kualitas investasi dalam bentuk mengarahkan investasi pada sektor-sektor prioritas yang dipandang strategis bagi penguatan struktur industry nasional.
Insentif non fiscal dilakukan dalam bentuk pemberian kemudahan pelayanan investasi, khususnya dalam hal penyederhanaan birokrasi layanan perijinan, pengurangan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan perijinan investasi, serta informasi peluang usaha. Pembentukan one stop services pelayanan investasi hingga ke tingkat daerah dimaksudkan dapat membantu investor dalam memotong biaya dan waktu yang dibutuhkan dalam melakukan investasi.
Kinerja investasi sepanjang 2012 ini sudah selayaknya diapresiasi dan terus ditingkatkan. Permasalahan dan tantangan ke depan masih menghadang diantaranya dalam hal perijinan investasi dan infrastruktur pendukung. Peringkat Indonesia untuk kedua kriteria tersebut dalam survey Doing Business 2012 belum begitu menggembirakan karena masih di bawah negara-negara pesaing. Berdasarkan laporan WEF dalam Doing Busines Economic Rangkings,  peringkat daya saing global (Global Competitiveness Index/GCI) Indonesia untuk periode 2012-2013 berada pada posisi 50 dengan skor 4,4 dari 144 negara. Namun permasalahan dan tantangan tersebut harus disikapi secara positif, dalam artian masih terbuka ruang dan potensi yang cukup lebar untuk menggenjot pertumbuhan investasi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Upaya-upaya perbaikan seperti layanan one stop service, kerjasama pemerintah swasta, sinergi BUMN, perbaikan iklim ketenagakerjaan, harus tetap dilanjutkan dan ditingkatkan intensitas dan cakupannya, untuk mendukung peningkatan aliran dan kualitas investasi.   
(TJI dan DDW - Asdep Bidang Ekonomi Makro, Keuangan dan Ketahanan Pangan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar